Meraih Kemenangan Sejati

 



 Akhir Ramadhan

Ramadhan akan meninggalkan kita. Antara sedih dan senang. Sedih karena bulan yang penuh ampunan, bulan penuh Rahmat, bulan penuh keberkahan telah meninggalkan kita. Rasanya hati ini sedih sekali. Disisi lain ada perasaan senang, karena Allah SWT mentarbiyah diri kita sebagai insan yang mulia. Dengan Puasa manusia hidup lebih jujur, disiplin, lebih peduli pada sesama, mudah melakukan kebaikan, menahan amarah dan mengendalikan hawa nafsu. Ramadhan sejatinya menguatkan karakter seorang muslim dan karakter bangsa sebagai bekal menjalani kehidupan sebelas bulan kedepan selalu dalam keberkahan dan siap menghadapi tantangan.

 Setelah melaksanakan ibadah Ramadhan apakah kita mendapatkan gelar taqwa sebagaimana yang dijanjikan dalam Qs. Al Baqarah: 183. Artinya:  "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."(Qs. Baqoroh: 183).

Indikator Taqwa

Tentu kita harus muhasabah diri, pantaskah termasuk golongan orang yang bertaqwa setlah menjalani ibadah Ramadhan?. Salah satu ciri orang bertaqwa digambarkan dalam QS. Al Imran: 134) yang Artinya: "(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran: 134).

Dalam ayat diatas, salah satu indikator penting gelar taqwa yakni menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain. Memaafkan orang yang pernah menyakiti kita bukan perkara mudah. Tapi ini harus kita maafkan karena dosa sesama tidak akan pernah hangus, jika tidak saling memaafkan keduanya.

Kisah Rasulullah SAW dan Ukasyah

Ada kisah menarik begitu pentingnya saling memaafkan di dunia sebelum menghadap Allah SWT. Dalam kisah Rasulullah SAW di akhir hayatnya, mengutus Bilal mengumpulkan semua sahabat dan kaum muslim di Masjid Nabawi. Para sahabat dan kaum Muslim segera berdatangan ke Masjid Nabawi, kemudian Baginda Rasul naik ke atas mimbar. Dari atas mimbar beliau memuji Allah kemudian menyampaikan khotbah yang membuat hati bergetar dan air mata berderai tangis. Nabi berkata, “Wahai kaum Muslim. Demi Allah dan demi hakku atas kalian. Barangsiapa yang pernah aku dzolimi tanpa sepengetahuanku, berdirilah dan balaslah kezaliman itu.” Tidak seorang pun berdiri. Rasulullah lantas mengulangi ucapannya sampai tiga kali, dan tidak seorang pun yang berdiri.

Tiba-tiba ada seorang kakek berdiri. Kakek itu melangkah melewati barisan jamaah hingga ia sampai di hadapan Rasulullah. Kakek itu bernama Ukasyah bin Mihshan. Ukasyah lantas berkata, “Demi ayah dan Ibuku. Andai engkau tidak mengucapkan kalimat itu sampai tiga kali, pasti aku tidak akan maju. Dulu, aku pernah bersamamu dalam satu perang. Setelah perang selesai, dan kita mendapatkan kemenangan, kita segera pulang. Untaku dan untamu berjalan sejajar. Aku turun dari unta, mendekatimu karena aku ingin mencium pahamu. Namun, tiba-tiba engkau mengangkat pecut dan pecut itu mengenai perutku. Aku tidak tahu, apakah kejadian itu engkau sengaja atau engkau ingin memecut unta.”

Rasulullah langsung berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari perbuatan memecutmu dengan sengaja. Wahai Bilal. Pergilah engkau ke rumah Fathimah, dan ambilkan pecut yang tergantung.” Bilal langsung berangkat menuju rumah Fathimah. Bilal mengetuk pintu dan berkata, “Wahai Putri Rasulullah. Ambilkan pecut yang tergantung itu. Serahkan kepadaku.” Fatimah bertanya, “Wahai Bilal. Apa yang akan dilakukan ayahku dengan pecut ini? Bukan hari ini adalah hari haji, bukan hari perang.” Bilal menjawab, “Wahai Fatimah. Kamu pasti tahu akhlak ayahmu. Beliau menitipkan satu agama. Beliau akan meninggalkan dunia ini. Dan, beliau memberikan kesempatan pada siapa pun untuk membalas (qisas) kesalahannya.” Kemudian Bilal kembali ke masjid dan menyerahkan pecut itu kepada Rasulullah SAW.

Rasulullah SAW lantas menyerahkan pecut itu kepada Ukasyah. Abu Bakar dan Umar segera berdiri dan berkata kepada Ukasyah, “Wahai Ukasyah. Balaslah kepada kami berdua. Kami ada di hadapanmu. Jangan engkau balas Rasulullah.” Rasulullah berkata kepada Abu Bakar dan Umar, “Diamlah kalian berdua, wahai Abu Bakar dan Umar. Allah tahu ketinggian derajat kalian berdua.” Ali pun berdiri dan berkata, “Wahai Ukasyah. Sepanjang hidupku, aku selalu bersama Rasulullah. Sungguh aku tidak tega melihat Rasulullah dipecut. Ini badanku. Balaslah. Pecutlah aku seratus kali. Jangan kau balas Rasulullah.”

Rasulullah berkata, “Wahai Ali. Duduklah. Allah tahu derajatmu dan niat baikmu.” Selanjutnya Hasan dan Husein juga berdiri dan berkata, “Wahai Ukasyah. Engkau kan tahu bahwa kami adalah darah daging Rasulullah. Engkau membalas kepada kami sama dengan engkau membalas Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Duduklah, buah hatiku. Allah tidak akan melupakan kemuliaan kalian.”

Rasulullah kemudian berkata kepada Ukasyah, “Wahai Ukasyah. Silakan. Pecutlah Aku.” “Wahai Rasulullah. Ketika engkau memecut perutku, perutku dalam keadaan terbuka,” kata Ukasyah. Rasulullah SAW langsung menyingkap pakaian hingga perutnya terbuka. Jamaah semakin histeris melihat pemandangan itu. Mereka menangis menjadi-jadi. Mereka menegur Ukasyah, “Apakah engkau betul-betul akan memecut Rasulullah, wahai Ukasyah?!..” Ukasyah lantas melihat perut Rasulullah, dan dia tak kuasa menahan diri, langsung merangsek tubuh Rasulullah SAW dan menciumi perutnya. “Demi ayah dan ibuku, siapa orang yang tega melakukan pembalasan kepadamu, wahai Rasulullah,” ujar Ukasyah.

Rasulullah berkata, “Lantas katakanlah, kau ingin membalas atau memaafkan aku?” Ukasyah, “Sungguh aku telah memaafkanmu karena aku berharap mendapatkan ampunan dari Allah pada hari Kiamat.” Rasulullah berkata, “Siapa yang ingin melihat temanku di surga nanti, lihatlah kakek ini.” Kaum Muslim langsung berdiri mengerubungi Ukasyah dan mencium keningnya.

Setelah peristiwa tersebut, Rasulullah jatuh sakit selama delapan belas hari. Tepat pada hari Senin, Rasulullah wafat, meninggalkan dunia yang fana ini. Nabi Muhammad SAW adalah seorang nabi dan rasul. Ia dijamin masuk surga, bahkan pasti berada di tempat paling tinggi dan paling mulia di sisi Allah. Namun, beliau begitu hati-hatinya terhadap manusia. Ia tidak ingin meninggalkan dunia ini, sementara masih ada orang yang “sakit hati” kepadanya. Beliau minta dibalas (diqisas) agar dirinya tidak dibalas di akhirat.

Menuliskan kisah diatas, hati rasanya sedih mengenang akhir hayat baginda rasul, dan tak sanggup menahan air mata. Begitu mulianya akhlak Rasulullah SAW, menghadap Allah SWT tidak ingin ada dosa sesama manusia. Lantas bagaimana diri kita, yang tak pernah lepas dari dosa, dan belum dapat jaminan surga dari Allah SWT, tentu naif jika tidak saling memaafkan. Kesalahan terhadap manusia harus diselesaikan di dunia. Allah SWT bisa mengampuni seluruh dosa manusia, tetapi ada syarat manusia bisa saling memaafkan.

Kemenangan Sejati

Momentum syawal sarana sangat penting untuk memaafkan sesama. Tradisi di Indonesia saling silaturrahim mengunjungi sanak keluarga di kampung (mudik), disitulah kita bisa saling meminta maaf atas dosa yang pernah kita lakukan. Di Perkotaan acara silaturrahim dikemas dengan acara Halal Bi Halal. Artinya saling menghalalkan atas segala dosa. Tujuannya sama merajut tali silaturrahim antar saudara muslim, antar tetangga. Hal ini merupakan kewajiban seorang muslim saling memaafkan untuk meraih ridhonya. Lebih-lebih dilakukan seorang anak kepada orang tuanya. Oleh karena itu, acara halal bi Halal pada bulan Syawal momentum tepat patut di dilestarikan, sekaligus ajang melebur dosa antar sesama. Mengundang semua warga atau tetangga untuk saling memaafkan apa yang pernah kita lakukan baik sengaja atau tidak.

Sehingga sebulan penuh kebaikan di bulan ramadhan sebagai modal kita mendapatkan ampunan. Misalnya Puasa, shodaqoh, tilawah, Qiyamul Lail, zakat fitrah, ibadah dan kebaikan lainnya menjadi wasilah untuk mendapatkan ampunan dan rahmat Allah SWT. Apabila di tambah kebaikan saat Idul fitri saling memaafkan, maka hubungan kita sama Allah baik, dan hubungan kita sesama juga baik. Ramadhan mendidik kita melawan hawa nafsu, bulan Syawal mentarbiyah untuk mudah memaafkan, melebur keangkuhan dan kesombongan, itulah jalan meraih kemenangan sejati. Wallahualam bishowab …

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Revolusi Mental

Keluar Zona Nyaman

Sade