Kritik Sosial

Sebenarnya sudah menahan tak menulis tentang isu politik. Sejak para akademisi bersuara. Rasanya tergelitik, dan jari gatal ingin menulis isu politik. Sebagai mantan aktivis nalar kritis tak bisa terbendung. Izinkan saya menuliskannya.


Para guru besar, civitas akademika sebagai benteng moral sampai bersuara ini bertanda negara dalam 'bahaya'. Kita tahu puluhan kampus sudah menyatakan sikap sebagai kritik sosial terhadap pemerintah . Mulai kampus ternama UGM, UI, ITB, Unair, Unibraw, Unesa dan diikuti kampus swasta lainnnya. Rata-rata menyampaikan keprihatinan kondisi demokrasi hari ini. Demokrasi mulai di kebiri dan dicederai. Apalagi ditambah pernyataan Presiden Jokowi boleh kampanye dan memihak menyulut kemarahan warga kampus.


Gelombang gerakan moral ini mulai terus bergerak menyuarakan agar pemilu tetap jujur dan adil sesuai prinsip dalam konstitusi. Sangat memalukan jika Presiden ikut "cawe-cawe' untuk memenangkan anak sendiri. Seyogyanya presiden bersikap negawaran seperti yang di tunjukkan Presiden SBY. Merangkul semua calon. Tidak mengarah Paslon tertentu. Meskipun boleh berdebat landasan hukumnya. Namun secara etika moral tak patut dilakukan. Masyarakatlah yang akan menghukum (Hukum sosial) tidak simpati dan tak diikuti.


Sebagai warga negara dan orang awam, saya juga ikut terhadap situasi saat ini. Pertama, Politisasi hukum. Bukan rahasia umum ada pejabat negara yang tersandera kasus hukum, akhirnya mendukung Paslon tertentu kasusnya tak dilanjutkan. Kasus terbaru, Bupati Sidoarjo terduga kasus korupsi dana insentif kepegawaian. Kepala dan asprinya sudah menjadi tersangka. Tiba-tiba esoknya Bupati itu mendukung Paslon 02 lenyap sudah tak terdengar kasusnya. Sama halnya dulu pengeledahan di rumah gubernur Jatim. Dan beberapa menteri lainnya juga sama. Sampai ada pameo kalau dulu koruptor lari keluar negeri, sekarang cukup ke 02 sudah aman. Hal ini menunjukkan terjadi politisasi hukum. KPK dijadikan jongos pemerintah untuk menembak lawan. Wajar saja sejak revisi undang-undang KPK, KPK terkesan tidak independen. Tunduk dan patuh pada ketiak presiden.


Kedua, Terjadi Politisasi Bansos. Sudah viral dimana-mana bansos dibagikan atas nama Presiden. Yang memalukan Presiden Jokowi membagi bansos sendiri di depan istana. Derajat dan martabat Presiden runtuh, bukannya tugas itu cukup dilakukan petugas kelurahan?. Bukankah urusan bansos diurusi kementrian sosial. Dan bukankah bansos itu duit dan untuk rakyat yang membutuhkan? Kenapa harus dipolitisasi? Hal ini merusak akal sehat dan kewarasan.


Ketiga, Demokrasi di kebiri. Sudah mulai ada riak bergelombang rektor diintimidasi untuk membuat sikap yang positif terhadap Jokowi yang diulas beberapa stasiun televisi. Begitu sebelumnya suara mahasiswa terbungkam oleh pejabat rektorat. Misalnya ketua BEM UGM yang memberikan gelar Jokowi alumni memalukan. Pasca itu keluarga mulai diintimidasi. HP mulai disabotase. Tentu ini mengkwatirkan ruang demokrasi. Jangan sampai kembali seperti zaman orde baru.


Itulah keresahan hati saat detik-detik menjelang pencoblosan pemilu 2024. Besar harapan negara bisa hadir mengayomi semua, pemilu berjalan transparan, jujur dan adil. Waallaulam bishowab..


Kedungturi, 08 februari 2024

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keputusan Berdampak

Jalan Dakwah Jalur Lomba

Bing Creator Image