Titik Nadir Demokrasi

*Titik Nadir Demokrasi*
Oleh: Sriyanto

Melihat perkembangan ekskalasi politik akhir-akhir ini, rasanya demokrasi pada titik nadir. Mengapa demikian karena peran partai politik sebagai wadah aspirasi rakyat dibajak oleh penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. 

Fenomena ini nampak secara gamblang yang terjadi pada partai Golkar. Golkar partai terbesar, Partai pemenang pemilu kedua, akhirnya tumbang. Hal ini ditandai mundurnya Ketua umum Airlangga Hartanto. Tanpa ada badai, tanpa ada hujan tiba-tiba mengundurkan diri. Rumornya yang menumbangkan pohon Beringin adalah tukang kayu. Dan operasi itu sudah di skenario jauh-jauh hari. Konon katanya nanti, Tukang kayu itu menjadi ketua pembina yang memiliki kekuasaan penuh di tubuh Golkar. Atau Wapres terpilih menyusup struktur pada partai Golkar. 

Kepentingannya apa menguasai Golkar? Berdasarkan wacana yang berkembang dan para analisis politik, Paling tidak ada tiga alasan. Pertama, Rekrutmen Politik. Demokrasi di Indonesia, Partai politik menjadi kendaraan politik untuk mencalonkan siapa pemimpin politik. Dalam waktu dekat ada pemilu kepala daerah (Pilkada) secara serentak. Rekomendasi partai politik untuk menentukan calon kepala daerah sangat penting dalam ekskalasi politik nasional. 

Kedua, Rumah kekuasaan bagi penguasa. Jabatan politik seperti Presiden ada masa. Ketika sudah tidak menjabat, maka perlu wadah yang mengendalikan kekuasaan, agar namanya tidak tenggelam ditelan bumi. Misalnya Megawati masih punya PDI Perjuangan. SBY punya partai demokrat. Prabowo punya Gerinda. Maka insting politik tukang kayu merebut partai Golkar jalan yang pas mempertahankan kekuasaan.

Ketiga, Keseimbangan Capres dan Wapres. Seandainya benar nanti Wapres terpilih masuk Golkar, maka ada bargaining politik sebagai Wapres. Seperti halnya Jusuf Kalla saat mendampinggi Jokowi. Jangan sampai peran Wapres hanya sebagai ban serep belaka seperti saat ini. Nah, Wapres terpilih masuk partai Golkar, maka suaranya akan terdengar.

Itulah fenomena politik di Indonesia. Tinggal menunggu waktu fakta terjadi dalam waktu dekat. Tantangan terbesar partai politik adalah kepentingan oligarki menyusup tubuh partai politik. Hal ini dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap partai dan mencederai fungsi partai sebagai penyambung aspirasi rakyat.

Teori oligarki yang dikemukakan oleh Michels dalam "Hukum Besi Oligarki" menyebutkan bahwa dalam organisasi besar, termasuk partai politik, cenderung akan terbentuk kelompok elit kecil yang mengendalikan kekuasaan.

Fenomena ini terlihat di Indonesia, di mana keputusan partai sering kali lebih didominasi oleh elit partai daripada hasil aspirasi akar rumput. Karena elit politik diintervensi oleh penguasa. Dengan dalih kasus hukum atau politik transaksional, akhirnya menyerah tanpa perlawanan.

Hal ini akan terjadi pada partai lainnya. Seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Nasdem yang sebentar lagi melakukan musyawarah nasional (Munas). PKS dikasih umpan Cawagub saja, iman politiknya sudah goyang. Kecuali PDI Perjuangan belum bisa di goyangkan, mungkin berlambang Banteng yang suka Menyeruduk.

Kondisi seperti itu sangat melumpuhkan Demokrasi. Belum lagi pragmatisme politik hampir terjadi pada seluruh partai, rasanya haus kekuasaan. Politik transaksional dan koalisi yang tidak berbasis ideologi sering kali membuat partai politik lebih mementingkan kepentingan jangka pendek daripada visi jangka panjang, sebagaimana diukir para pendiri bangsa dulu.

Seyogyanya partai politik menjadi wadah aspirasi rakyat dalam menyiapkan pemimpin nasional sesuai kepentingan rakyat. Sebagaimana disampaikan Menurut Robert A. Dahl, seorang ahli teori demokrasi, partai politik memiliki berperan penting memilih pemimpin dan membuat kebijakan sesuai dengan aspirasi dan kepentingan rakyat. 

Harapan rakyat pada partai politik itu sangat besar karena Partai politik dan demokrasi satu bagian tak terpisahkan. Giovanni Sartori, seorang pakar politik dari Italia, menyebutkan bahwa partai politik adalah komponen yang tidak dapat dipisahkan dari demokrasi, karena berfungsi untuk menciptakan struktur kepemimpinan dari rakyat dan melayani rakyat. 

Apabila peran dan fungsi partai sebagai penyambung lidah rakyat, rekrutmen pemimpin nasioanl, dan pendidikan politik bagi masyarakat diamputasi oleh penguasa, maka yang terjadi demokrasi kita pada titik nadir. Waallahualam bishowab… 


Kedungturi, 18 Agustus 2024

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keputusan Berdampak

Jalan Dakwah Jalur Lomba

Bing Creator Image