GERAKAN BERSAMA ANTI KEKERASAN

Gerakan Bersama Anti Kekerasan di Satuan Pendidikan
 Oleh: Sriyanto, M.Pd. 

 Pendahuluan
 Kekerasan yang terjadi di sekolah akhir-akhir ini patut menjadi perhatian serius bagi insan pendidikan. Kekerasan di satuan pendidikan merupakan fenomena terjadi di mana saja dan kapan saja. Baik pada level perguruan tinggi sampai Tingkat dasar (SD). 

Berdasarkan laporan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menunjukkan bahwa kasus kekerasan di sekolah mencakup berbagai bentuk, mulai dari pelecehan hingga kekerasan fisik antara siswa. Laporan ini menggarisbawahi pentingnya peningkatan pendampingan dan pengawasan oleh civitas akamik. 

Data FSGI menunjukkan bahwa kekerasan di sekolah paling sering terjadi di SMP (Sekolah Menengah Pertama) dengan 40%, dan di kedua jenjang SD/MI dengan 33%. Namun, kasus kekerasan yang tercatat di SMA adalah 13,33% dan SMK adalah 13,33%. Berdasarkan angka ini, 80% kasus terjadi di sekolah yang diawasi oleh Kemendikbudristek, dan 20% terjadi di satuan pendidikan yang diawasi oleh Kementerian Agama (rakyatsulsel, 09/08/2024).

 Kekerasan ini mencakup berbagai bentuk perilaku agresif yang dapat terjadi di lingkungan sekolah, baik yang dilakukan oleh siswa, guru, atau staf sekolah lainnya. Kejadian ini tidak hanya berpengaruh negatif pada korban kekerasan, tetapi juga merusak iklim belajar yang kondusif dan harmonis. Dalam tulisan ini, membahas penyebab kekerasan di satuan pendidikan, dampaknya terhadap siswa dan lingkungan belajar, serta solusi yang dapat diimplementasikan untuk mengatasi kekerasan di satuan pendidikan.

 Penyebab Kekerasan 
 Penyebab kekerasan di sekolah sangat beragam dan kompleks. Salah satu penyebab utamanya adalah faktor lingkungan keluarga. Anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga pola asuh yang kurang kasih sayang, cenderung membawa perilaku agresif mereka ke lingkungan sekolah. Selain itu, pengaruh media massa, seperti televisi, film, dan permainan video yang mengandung unsur kekerasan, juga dapat memicu perilaku agresif di kalangan anak-anak dan remaja.

 Faktor lain yang berkontribusi adalah tekanan akademik yang berlebihan. Siswa yang merasa tertekan oleh tuntutan akademik yang tinggi dan persaingan yang ketat sering kali mengalami stres, yang kemudian bisa memicu perilaku kekerasan sebagai bentuk pelarian dari tekanan tersebut. Kurangnya keterampilan sosial dan emosional, serta minimnya pendidikan karakter di sekolah juga menjadi faktor penyebab kekerasan. Siswa yang tidak diajarkan cara mengelola emosi dan konflik dengan baik cenderung menggunakan kekerasan sebagai solusi. Dampak Kekerasan di Satuan Pendidikan Kekerasan di sekolah memiliki dampak yang sangat merugikan bagi korban, pelaku, dan lingkungan sekolah. Bagi korban, kekerasan dapat menyebabkan trauma psikologis yang mendalam, seperti rasa takut, cemas, depresi, dan rendah diri. Kondisi ini tentu akan mengganggu konsentrasi dan prestasi akademik mereka. Selain itu, korban kekerasan juga berisiko mengalami masalah kesehatan fisik akibat cedera yang mereka alami. Bagi pelaku kekerasan, perilaku agresif ini bisa menjadi kebiasaan yang sulit diubah dan berpotensi membawa mereka ke jalur kriminal di masa depan. Pelaku yang tidak mendapatkan sanksi dan pembinaan yang tepat akan cenderung mengulangi perbuatannya dan memperburuk iklim sekolah. Secara keseluruhan, kekerasan di sekolah merusak suasana belajar yang kondusif dan aman. Iklim sekolah yang penuh dengan kekerasan membuat siswa merasa tidak nyaman dan tidak aman, sehingga menghambat proses pembelajaran. Kekerasan juga dapat menurunkan citra sekolah di mata masyarakat dan menurunkan kepercayaan orang tua terhadap institusi pendidikan. 

 Alternatif Solusi Anti Kekerasan Untuk menangani kekerasan di satuan pendidikan, sebenarnya Pemerintah melalui Kemendikbudristek sudah membuat regulasi dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 untuk mencegah dan menangani kekerasan di lingkungan pendidikan. Peraturan ini menjelaskan jenis kekerasan dan cara mencegah dan menangani kekerasan di satuan pendidikan. Menurut Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023, ada tiga cara untuk mencegah kekerasan di sekolah Penguatan Tata Kelola, Edukasi dan Sarana Prasarana. Tentu peraturan diatas, tidak akan berarti jika semua steakholder tidak melakukan gerakan bersama Anti kekerasan. Pendekatan yang digunakan harus menyeluruh dan melibatkan berbagai pihak. 

Berikut beberapa alternatif solusi Anti kekerasan yang dapat diimplementasikan: Pertama, Penguatan Pendidikan Karakter dan Keterampilan Sosial-Emosional: Sekolah perlu mengintegrasikan pendidikan karakter dan keterampilan sosial-emosional ke dalam kurikulum. Program ini dapat membantu siswa mengembangkan kemampuan untuk mengelola emosi, menyelesaikan konflik secara damai, dan membangun hubungan yang sehat dengan orang lain. Tentu mendapat dukungan penuh dari guru bimbingan Konseling (BK). 

 Kedua, Kebijakan Anti-Kekerasan: Sekolah memiliki kebijakan yang jelas dan tegas terkait kekerasan. Kebijakan ini harus mencakup sanksi yang konsisten bagi pelaku kekerasan dan perlindungan bagi korban. Selain itu, penting untuk melibatkan siswa dalam merumuskan dan menerapkan kebijakan ini agar mereka merasa memiliki tanggung jawab dalam menciptakan lingkungan yang aman. Acara dikemas dalam Deklarasi Anti kekerasan pada seluruh siswa. 

 Ketiga, Pelatihan Anti Kekerasan Untuk Guru: Guru sebagai ujung tombak perlu mendapatkan pelatihan tentang cara mendeteksi tanda-tanda kekerasan dan menangani konflik secara efektif. Guru harus dibekali dengan keterampilan untuk membangun lingkungan belajar yang positif dan inklusif. Keempat, Pengawasan dan Pendampingan: Pengawasan yang lebih ketat di lingkungan sekolah dapat mencegah terjadinya kekerasan. Sekolah juga perlu menyediakan layanan konseling setiap siswa untuk menggali permasalahan yang dialami siswa. Dari data awal itu guru BK mengetahui gejala awal atau berpotensi terlibat dalam kekerasan. Konselor sekolah dapat membantu siswa mengatasi masalah pribadi mereka dan memberikan dukungan psikologis yang diperlukan. 

 Kelima, Kerjasama dengan Orang Tua dan Masyarakat: Sekolah perlu menjalin kerjasama yang baik dengan orang tua dan masyarakat. Orang tua harus dilibatkan dalam upaya pencegahan kekerasan dan diberikan edukasi tentang pentingnya menciptakan lingkungan keluarga yang harmonis. Masyarakat juga dapat berperan dalam mengawasi dan melaporkan kejadian kekerasan di lingkungan sekitar sekolah. 

Penutup 
Kekerasan di satuan pendidikan merupakan masalah yang kompleks dan memerlukan perhatian serius dari semua pihak. Penyebab kekerasan sangat beragam, mulai dari faktor lingkungan keluarga, dan tekanan akademik, Dampaknya sangat merugikan bagi korban, pelaku, dan lingkungan sekolah secara keseluruhan. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan yang holistik dan kolaboratif. Kerjasama antara guru, dengan orang tua dan masyarakat merupakan beberapa langkah penting yang dapat diambil. Dengan Gerakan bersama, diharapkan kekerasan di satuan pendidikan dapat diminimalisir sehingga tercipta lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan kondusif bagi perkembangan siswa.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keputusan Berdampak

Jalan Dakwah Jalur Lomba

Bing Creator Image